Catatan Perjalanan :
Musim Panas Di
Arizona
7.
Peninggalan Budaya Indian Salado
Hari sudah sore
saat saya meninggalkan danau Roosevelt, dan perjalanan saya
lanjutkan ke arah selatan menuju kota Globe untuk selanjutnya
kembali ke Tempe. Belum jauh saya berjalan, sudah sampai di
lokasi Taman Monumen Nasional Tonto, saat itu sekitar jam 4:15
sore. Ruang pusat pengunjung (visitor center) masih buka karena
jam kerjanya hingga jam 5:00 sore. Ternyata di tempat ini ada
peninggalan budaya suku Indian Salado, yaitu sisa bangunan rumah
kuno di sebuah rongga atau semacam gua kecil di lereng
pegunungan, di wilayah Hutan Taman Nasional Tonto.
Sebagai pemegang
National Park Pass, saya bebas biaya US$5 untuk memasuki tempat
ini dan saya bisa memperoleh segala informasi yang saya perlukan.
Untuk mencapai ke lokasi peninggalan kuno di lereng gunung ini
harus ditempuh dengan berjalan kaki mendaki sejauh kira-kira 1
km. Tidak terlalu tinggi memang, tapi cukup membuat napas ngos-ngosan.
Sebelum berjalan menuju monumen saya dipesan agar paling lambat
jam 6:00 harus sudah tiba kembali ke ruang pengunjung. Saya
perkirakan paling-paling satu jam saya sudah kembali.
Setiba saya di
lokasi peninggalan kuno ini ternyata di sana masih ada pengunjung
lain, dan masih ada petugas yang dengan setia menjawab setiap
pertanyaan para pengunjung serta menerangkannya dengan sangat
lancar tentang seluk-beluknya bangunan kuno ini dan bagaimana
upaya pemeliharaannya. Yang terakhir ini yang sebenarnya justru
lebih menarik perhatian saya, dan bukan bangunan peninggalan
kunonya.
Kalau soal
peninggalan budaya kuno, rasa-rasanya di Indonesia ini hampir
setiap Kabupaten memilikinya. Mulai dari yang terbesar candi
Borobudur sampai peninggalan keraton hingga ke arca-arca kecil
yang berumur ratusan tahun dari jaman Hindu, lengkap dengan
ceritera legenda dan sejarahnya. Saking banyaknya, hingga
cenderung tidak menarik lagi untuk dilihat, apalagi diampiri
(dikunjungi).
Akibatnya, lebih
dua puluh tahun saya ber-KTP Yogyakarta dan sempat lima tahunan
tinggal di radius 250 meter dari Taman Sari, tapi tidak pernah
tahu ada apa di sana, apa lagi paham ceritanya. Atau, teman saya
yang asli Bali, tapi ya cengengesan saja kalau ditanya tentang
apa dan bagaimana Tanah Lot. Itu kan urusannya para turis
..
***
Petugas
Taman Nasional yang berseragam khas baju warna khakhi, dengan
telaten menjelaskan setiap jengkal dari bangunan kuno yang memang
tidak besar itu. Karena hanya seperti menempel di rongga yang ada
di lereng pegunungan. Di beberapa tempat tertulis : Dilarang
bersandar, memanjat, menduduki atau menyentuh bangunan, karena
khawatir keutuhan bangunan kuno itu akan terganggu. Benar-benar
diperlakukan seperti bala pecah (barang mudah pecah).
Petugas ini tidak segan-segan menegur pengunjung kalau dilihatnya
ada pengunjung yang, entah karena tidak tahu atau ingin
coba-coba, melanggar aturan yang ada.
Dari
studi arkeologi diketahui bahwa suku Salado dan sebagaimana
suku-suku Indian lainnya adalah hidup dengan cara bertani, yaitu
di lembah Salt River yang kini terendam danau Roosevelt. Dari
kelebihan hasil produksi pertanian mereka saat itu, kemudian
mereka saling barter dengan hasil pertanian dari suku lain. Pada
masa itu mereka sudah menjalin hubungan bisnis antar suku.
Mereka
adalah suku nomaden. Sekitar tiga abad mereka tinggal di tempat
itu lalu secara berkelompok pula pindah ke tempat lain.
Meninggalkan bekas bangunan rumah yang selanjutnya tererosi,
termakan oleh angin dan teriknya cahaya matahari, hingga akhirnya
kini tinggal reruntuhannya saja yang masih bisa dikenali.
Sayangnya
tidak diketemukan catatan tentang keberadaan mereka kemudian,
juga tidak ada peninggalan yang menunjukkan tentang kehidupan
bermasyarakat mereka saat itu. Hal yang paling berharga saat ini
untuk menyingkap kehidupan suku Salado adalah melalui
lukisan-lukisan di dinding, jejak asap api dari bekas tempat
mereka memasak, benda-benda tembikar atau gerabah, dan sisa
reruntuhan rumah mereka.
Sejak
Monumen Nasional Tonto diresmikan oleh Presiden Theodore
Roosevelt tahun 1907 di bawah Undang-Undang Purbakala tahun 1906,
tidak satu pun benda-benda di situ boleh diganggu, apalagi
diambil sisa-sisa reruntuhannya termasuk benda-benda peninggalan
lainnya. Kalau ingat ini, eh
..lha kok Candi
Prambanan di sana malah dipreteli kepalanya
..
Secara fisik, peninggalan rumah kuno budaya Salado ini struktur bangunan maupun arsitekturnya kelihatan biasa-biasa saja. Batu-batu belah disusun dengan menggunakan lempung karbonat sebagai semen perekat. Cara perekatannya pun tidak terlalu rapi dengan arsitektur sangat sederhana, terkesan asal ada dinding penyekat antar ruang-ruang, lalu di bagian atasnya dipasang usuk-usuk kayu. Meskipun harus diakui bahwa itu adalah hasil pekerjaan yang tidak mudah kalau mengingat pembangunannya dilakukan di rongga-rongga di lereng bukit di tempat yang tinggi.
Dari
sisi ini saya masih lebih bangga kalau melihat bangunan candi di
Jawa yang menurut alkisah disusun dengan menggunakan putih telur
sebagai perekatnya (entah telurnya siapa saja, pasti banyak
jumlahnya), dengan arsitektur yang lebih bernilai artistik dan
umumnya berkomposisi simetris. Sehingga terkesan, siapapun yang
membangun candi-candi itu pasti mempunyai budaya yang telah maju
pada jamannya. Sementara budaya Salado yang ditemukan
peninggalannya ini hidup pada sekitar abad ke-13 hingga 15, jauh
lebih muda dibanding budaya Hindu yang membangun candi-candi di
Jawa.
Namun
dari sisi yang lain, saya menjadi sangat tidak bangga kalau ingat
rasa memiliki bangsa saya terhadap peninggalan-peninggalan kuno
kok masih memprihatinkan. Padahal kita mempunyai peninggalan kuno
yang jauh lebih indah, bernilai karya seni tinggi dan banyak
jumlahnya, dibandingkan dengan yang saya jumpai di Taman Monumen
Nasional Tonto.
Tetapi
kenapa mereka bisa demikian perduli dan sungguh-sungguh menjaga,
merawat dan memberikan apresiasi terhadap monumen nasional yang
sangat bernilai historis dan perlu dilestarikan. Sementara kita, boro-boro
berkesadaran untuk menjaga dan merawatnya, lha wong kalau
enggak ketahuan malah dicolongin dan dijual.
Terlepas
dari soal apakah ini ada kaitannya dengan faktor ekonomi atau
kemiskinan atau kesejahteraan sehingga tidak urus dengan
hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan hajat hidup, yang
jelas ada satu tingkat kepedulian yang hilang dari kehidupan
kita, dan rasanya itu perlu ditemukan kembali.
Kalau
demikian, lalu menjadi tanggung jawab siapa untuk
membangunkan bangsa kita, yang seperti katak
dalam tempurung ini? Merasa dirinya yang paling baik, hanya
gara-gara tidak pernah (mau) tahu bahwa di luar sana ada yang
lebih baik. Anehnya tapi nyatanya, kalau ada yang memberitahukan
tentang hal yang lebih baik itu malah tersinggung dan terkadang
malah ngonek-onekke (memaki-maki).
Terus terang,
sebenarnya saya sendiri sebagai bagian dari katak itu merasa miris
(ngeri dan berat hati) untuk mengatakan hal ini, tapi lha kok
nyatanya memang demikian. Masih lebih enak kalau ngomongnya sama
Gus Dur, paling-paling dijawab : begitu saja kok repot
.- (Bersambung)
Yusuf Iskandar
Rumah
peninggalan suku Indian Salado yang berkonstruksi sangat
sederhana.
Sisa-sisa
bekas peninggalan budaya Indian Salado
di
lereng pegunungan Taman Nasional Tonto.